Dede Farhan Aulawi |
ZonaExpose.com - Dunia saat ini berubah dengan sangat cepat sehingga banyak tatanan pergaulan dan kerjasama internasional semakin berkembang. Tidak ada yang abadi di dunia ini, kecuali perubahan itu sendiri. Orang atau negara yang bisa cepat beradaptasi dengan perubahan maka ia akan mampu mengikuti irama perubahan. Namun sebaliknya jika ia tidak mampu beradaptasi, maka PERUBAHAN yang akan menggilas dan meninggalkannya sehingga semakin jauh dari kemajuan peradaban.
Begitupun dalam konteks interaksi sosial, baik dalam lingkup nasional, regional maupun internasional sudah sangat banyak berubah, sehingga menuntut kebijakan dan perangkat baru dalam pelaksanaan hubungannya. Kemajuan teknologi telah mendorong peningkatan intensitas saling ketergantungan antar negara. Akibatnya tercipta suatu dunia tanpa batas (borderless world) yang seolah-olah telah membentuk suatu ‘global village’ bagi masyarakat dunia. Sejalan dengan proses globalisasi, para pelaku hubungan internasional juga semakin meluas, tidak hanya melingkupi aktor negara (state actors) saja, namun telah meluas pada aktor-aktor selain negara (non-state actors) seperti LSM, perusahaan multinasional (MNCs), media, Pemerintah Daerah, dan lain - lain. Pemberdayaan seluruh aktor hubungan dan kerjasama luar negeri diharapkan dapat mewujudkan suatu diplomasi yang memandang substansi permasalahan secara integratif dan melibatkan semua komponen bangsa dalam suatu sinergi yang disebut Total Diplomacy “, ujar Pemerhati Pemerintahan yang juga Dewan Pakar Bidang Luar Negeri Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Pusat Dede Farhan Aulawi di Jakarta, Selasa (5/9).
Hal tersebut ia sampaikan dalam bincang – bincang santai terkait Peluang dan Tantangan Kerjasama Luar Negeri oleh Pemerintah Daerah. Menurutnya, UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah mengisyaratkan perlu dilakukannya penyesuaian kewenangan pelaksanaan hubungan dan kerjasama luar negeri yang sebelumnya diatur dalam UU No. 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah. Pada dasarnya pelaksanaan politik luar negeri merupakan kewenangan pemerintah pusat. Namun seiring dengan berlakunya undang-undang otonomi daerah, kebijakan hubungan luar negeri dan diplomasi oleh pemerintah pusat antara lain juga diarahkan untuk memberdayakan dan mempromosikan potensi daerah, dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Selanjutnya Dede juga menjelaskan bahwa wewenang pemerintah daerah dijabarkan berdasarkan ketentuan Undang-Undang. Setiap pemerintah daerah memiliki hak untuk mengatur kepentingan masyarakat di daerah masing-masing. Pemerintah daerah juga bertanggung jawab atas segala urusan yang terjadi di daerah kepengurusannya. Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, pemerintahan daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut asas otonomi. Pemerintah daerah adalah Gubernur, Bupati, atau Walikota, dan perangkat daerah yang melaksanakan tugas sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.
Kemudian ia juga menambahkan bahwa kewenangan daerah untuk melaksanakan hubungan luar negeri meliputi penanaman modal, perdagangan luar negeri, pariwisata, pendidikan, keuangan dan bidang lain yang menyangkut pembangunan. Selama kerjasama tersebut tidak bersentuhan dengan persoalan mengenai politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, maka segala bentuk kerjasama dimungkinkan. Pemerintah daerah pada umumnya menuangkan kerjasama yang dilakukannya dalam bentuk Memorandum of Understanding (MoU) atau Letter of Intent (LoI). MoU dalam hukum perjanjian internasional dapat digolongkan sebagai salah satu bentuk instrumen hukum (traktat) yang memiliki kekuatan mengikat secara hukum. Hal ini sesuai dengan tuntutan dari UU No. 24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional.
Dalam konteks diplomasi dan praktik Hubungan Internasional masa kini, pemerintah pusat tidak lagi menjadi satu-satunya pemegang kendali. Aktor subnasional seperti pemerintah daerah maupun daerah otonomi khusus, memiliki kepentingan dan peran masing-masing yang mampu memengaruhi perilaku negara dalam membangun kerja sama global. Salah satu contoh praktiknya adalah ketika pemerintah pusat Amerika Serikat (AS) di bawah kepemimpinan Donald Trump memutuskan menarik AS dari Perjanjian Paris tentang perubahan iklim pada tahun 2017. Kemudian ada 12 gubernur negara bagian dan sekitar 400 walikota membentuk Aliansi Iklim untuk menolak keputusan itu, dan menyatakan tetap mendukung isi Perjanjian Paris secara mandiri. Aktor-aktor subnasional ini bisa menjadi perwakilan negara (dalam wilayah terbatas) yang dapat melakukan misi diplomasi guna mencapai kepentingan nasional. Cara ini dikenal dengan istilah PARADIPLOMASI yang merupakan singkatan dari “Parallel Diplomacy” atau diplomasi yang sejajar.
“ Bagaimana dengan pemerintah daerah di Indonesia ? Peluang dan tantangannya sangat besar dan sangat menarik. Persoalannya adalah terkait dengan kesiapan dan ketersediaan SDM-nya. Memang sudah ada beberapa pemerintah daerah yang sudah mampu seperti itu, tetapi belum merata kepada pemerintah daerah lainnya. Jika pemerataan kompetensi SDM sudah merata, sebenarnya menjadi harapan besar yang mampu melakukan percepatan pembangunan. Salah satu bentuk paradiplomasi yang sudah berjalan adalah sister city untukmeningkatkan hubungan budaya dan perdagangan. Di Indonesia, paradiplomasi muncul sebagai produk desentralisasi atau otonomi daerah yang memberdayakan pemerintah daerah dan memberi mereka kewenangan untuk terlibat dalam hubungan internasional “, imbuhnya.
Namun, perlu diketahui bahwa pemerintah daerah tidak serta merta dapat menjadi aktor utama dalam diplomasi. Beberapa alasannya adalah karena mereka tidak memiliki kedaulatan penuh, batas yurisdiksinya terbatas secara lokal, secara hierarki berada di bawah pemerintah pusat. Pemerintah daerah juga memiliki banyak pekerjaan rumah untuk pembangunan lokal dan jangka pendek di wilayah mereka masing-masing. Pada akhirnya, pemerintah daerah hanya bisa menjalankan fungsi-fungsi diplomasi yang dianggap lebih mudah dikelola di tingkat lokal, seperti diplomasi ekonomi, budaya, dan pengetahuan.
“ Pemerintah daerah di Indonesia harus bersungguh – sungguh dalam penyiapan SDM-nya, sebagaimana sudah dilakukan oleh pemerintah daerah di berbagai negara dalam diplomasi budaya dan pengetahuan, seperti festival budaya, pameran produk UMKM, dan lain – lain. Orientasi utamanya tentu terkait dengan kerjasama ekonomi yang saling menguntungkan.
ZonaExpose
0 Komentar