Header Ads Widget

Update

6/recent/ticker-posts

Dede Farhan Aulawi Berikan Pandangan Dunia dan Sistem Pendidikan

Dede Farhan Aulawi

ZonaExpose.com -- “ Jika berbicara tentang pentingnya dunia pendidikan, tentu semua orang akan sepakat bahwa pendidikan itu sangat penting untuk menciptakan generasi penerus yang berkualitas. Oleh karenanya segala instrumen pendidikan menjadi penting untuk diperhatikan, termasuk segala fasilitas sarana prasarananya. Apalagi jika berbicara kualitas tenaga pendidiknya. Nomenklatur ‘Tenaga Pendidik’ juga menjadi sangat penting sekali daripada sekedar istilah ‘tenaga pengajar’.  Jika sebutannya sebagai tenaga pengajar, maka kewajibannya akan gugur setelah dia melaksanakan tugas mengajar di jam pelajarannya. Tetapi sebagai pendidik, tidak cukup hanya sekedar mengajar karena memiliki kewajiban untuk mendidik agar seluruh siswanya tidak sekedar cerdas secara intelektual, tetapi juga sehat secara moral. Siswanya tidak sekedar pintar, tetapi juga memiliki akhlaq yang luhur “, ujar Pemerhati Pendidikan Dede Farhan Aulawi di Bandung, Selasa (19/9).

Hal ini ia sampaikan ketika menyampaikan pandangannya tentang dunia pendidikan. Menurutnya, masih banyak hal yang harus difikirkan untuk memajukan dunia pendidikan di Indonesia. Salah satunya mengenai tingginya biaya pendidikan bagi warga negara. Alokasi pendidikan 20% di APBN faktanya masih belum mampu menghadirkan kualitas pendidikan yang bagus dengan biaya (SPP) yang terjangkau, apalagi bisa gratis secara berkeadilan bagi semua warga negara dari pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi. 

“ Kadangkala kita bermimpi jika Pemerintah sudah mampu menghadirkan pendidikan gratis secara merata untuk seluruh perguruan tinggi, khususnya perguruan tinggi negeri. Berapa banyak negara akan memiliki kualitas SDM yang handal dan siap menghadapi tantangan zaman. Seringkali kita miris ketika mendengar rendahnya kualitas SDM Indonesia sehingga akhirnya harsu mendatangkan SDM dari luar negeri dengan dalih karena kita belum memiliki tenaga yang dibutuhkan. Hal ini sebetulnya merupakan tantangan serius buat perguruan tinggi, dan para kaum cendekia pada umumnya “, tambahnya.

Apalagi jika bicara soal prosedur formal kependidikan dengan segala atribut dan standarnya. Dari satu sisi tentu bisa dipahami agar tercapainya standar pendidikan yang seragam. Di sisi lain kita juga perlu objektif dalam melakukan penilaian dimana faktanya ‘standar’ dan ‘ keseragaman kualitas’ baru dalam perspektif administratif, dan belum menyentuh esensi pencapaian kualitas pendidikan yang baik.

Ilustrasi sederhananya bisa dilihat dalam kehidupan empirik di lingkungan masing – masing. Tidak sedikit orang yang sukses dalam berbisnis dilakukan oleh orang – orang yang tidak berpendidikan tinggi. Sebaliknya orang – orang berpendidikan tinggi hanya sekedar pekerja dari perusahaan – perusahaan tersebut. Padahal berapa banyak orang dengan nilai akademis bagus dihasilka dari berbagai perguruan tinggi, tetapi tidak memiliki kemampuan untuk sukses dalam bisnisnya. Begitupun di bidang lainnya, misalkan di bidang kemampuan komunikasi, dan yang lainnya. Pada akhirnya semua akan dikembalikan pada individunya masing – masing.

Mungkin semua orang akan sepakat bahwa tingkat kemajuan dan kemakmuran suatu bangsa akan  sangat ditentukan oleh kemampuannya dalam melahirkan generasi yang unggul hasil olah dunia pendidikan dan inovasi yang hebat. Meskipun tolok ukurnya masih berbasis pada variabel-variabel kuantitatif, dan belum menyentuh aspek kualias moral yang luhur atau akhlaq yang mulia sehingga bermuara para tingginya peradaban budaya suatu bangsa.

Daron Acemoglu dan James Robinson dalam Why Nations Fail menggali lebih dalam asal-usul kekuasaan, kemakmuran dan kemiskinan, tetapi kata ”pendidikan” (universitas) tak ditemukan di indeks bukunya. Bahkan, Charles Maier dalam bukunya Among Empires, dengan pengetahuan mendalamnya tentang kondisi perguruan tinggi (PT), hanya memberi sedikit ruang bagi universitas dalam membahas trajektori kebangkitan AS. Dimana sebenarnya posisi dunia pendidikan ? Kemana arahnya ? Dan apa yang ditekankan ? Dan banyak lagi pertanyaan yang berujung pada sebuah renungan terkait sistem pendidikan dan dunia pendidikan pada umumnya.

Masyarakat juga saat ini seringkali dibingungkan dengan fenomena perlombaan meraih gelar akademik, padahal tidak sedikit yang jarang berkiprah di dunia pendidikan. Tidak sedikit Perguruan Tinggi yang menjatuhkan marwah keilmuannya dengan berlomba menganugerahkan gelar akademik kepada elite politik/pengusaha yang tidak terlibat dalam perkembangan ilmu. Peningkatan pendapatan universitas bukan lewat pendalaman dan perluasan pemanfaatan hasil riset, inovasi, dan jasa keilmuan dalam kerangka pengembangan ekonomi berbasis pengetahuan, melainkan lebih mengandalkan kenaikan iuran perkuliahan, hibah, proposal permohonan, dan kegiatan komersialisasi non-akademik lainnya.

Jika saja perguruan tinggi mau bekerja ikhlas dan lelah tanpa pamrih, sebenarnya banyak orang – orang di desa dan perkampungan yang memiliki inovasi karya – karya yang bermanfaat buat lingkungannya. Namun mereka tidak memiliki kecukupan ‘syarat administratif’ sehingga jarang sekali disentuh dengan ‘penganugerahan gelar’.  Sungguh suatu fenomena yang membuat miris bagi mereka yang masih peduli dengan marwah dan kehormatan integritas keilmuan.

Terkadang peningkatan produksi karya ilmiah belum tentu mencerminkan keseriusan dirinya terlibat dalam aktivitas riset dan inovasi, dengan segala kebaruan temuan dan kontribusinya dalam memecahkan masalah – masalah kemasyarakatan, ataupun inovasi teknologi sesuai kebutuhan objektif berbagai industri untuk meningkatkan daya sainnya. Jangan sekedar memenuhi prasyarat kenaikan jabatan dengan mengumpulkan point – point sesuai ketentuan kuantitatif. 

Dalam konteks yang lebih luas, kadangkala perguruan tinggi terjebak oleh idiom ‘world class university’ sebagai sebuah tujuan pencapaian. Dimana lebih fokus untuk memenuhi kriteria yang diukur dalam sistem pe-ranking-an, misalnya sekadar memenuhi jumlah produksi karya ilmiah yang terindeks Scopus dan Sinta. Lupa keluhuran misi Tridharma pendidikan tinggi maupun keluhuran pandangan filososfis negara. Negara China lebih menekankan aspek kontribusi universitas pada kebajikan publik sebagai penentu utama. Negara lain lebih menekankan peran universitas dalam inovasi. Ada pula yang lebih menekankan sentralitas tradisi, dan sebagainya. Bahkan negara Perancis mendominasi Eropa dengan kekuatan ide ketimbang kekuatan fisik.

“ Jadi sangat menarik ketika kita bisa berdiskusi masalah dunia pendidikan dan sistem pendidikan. Ada banyak hal yang masih harus difikirkan. Kita tidak boleh terjebak oleh rutinitas sehingga terlena dan tidak sempat memikirkan hal – hal yang bersifat faktual. Masih banyak orang – orang di luar dunia pendidikan, tetapi masih turut serta untuk berfikir tentang pendidikan. Seminar – seminar pendidikan, diskusi ilmiah, saresehan atau apapun namanya, perlu juga menghadirkan orang – orang di luar dunia pendidikan, tetapi menaruh atensi yang besar pada bidang pendidikan. Ada saatnya kampus belajar untuk ‘mendengar’ perspektif lain untuk menambah horizon pemikiran “, pungkasnya.(red)

Desy Astariyah S.Com

Posting Komentar

0 Komentar