Dede Farhan Aulawi |
Jakarta, ZonaExpose.com - “ Kita saat ini dalam Teori Kepemimpinan Warren Bennis dan Burt Nanus sedang berada dalam kondisi VUCA (Volatility, Uncertainty, Complexity, dan Ambiguity) dimana perubahan bisa terjadi sangat cepat, tidak terduga, dipengaruhi oleh banyak faktor yang sulit dikontrol, dan kebenaran serta realitas menjadi sangat subyektif. Perkembangan teknologi dan informasi menjadi salah satu pengaruh terbesar dari perubahan ini. Bagaimanapun juga kita tidak bisa menghindari kemajuan, tetapi harus bisa beradaptasi dengan kemajuan itu sendiri. Kecepatan teknologi dan informasi bukan sekedar mempengaruhi gaya hidup tetapi juga mempengaruhi bagaimana kita akan mendidik anak-anak dalam menghadapi dunia yang lebih maju, lebih cepat, informasi semakin sulit disaring, persaingan semakin terbuka “, ungkap Pemerhati Kepolisian yang juga Direktur Eksekutif Lembaga Pengembangan Profesi dan Teknologi Kepolisian (LP2TK) Dede Farhan Aulawi di Bandung, Sabtu (26/8).
Demikian disampaikan oleh Dede Farhan saat obrolan santai dengan para awak media di sebuah cafe di Bandung. Bahkan menurutnya saat dan pasca pandemi Covid-19, mengakibatkan istilah VUCA mulai mengalami perubahan dan bergeser menjadi BANI untuk menjelaskan model, peluang dan tantangan relasi ekonomi – sosial yang bermuara pada munculnya permasalahan – permasalahan hukum yang relatif baru. BANI merupakan singkatan dari Brittle (rapuh), Anxiety (penuh kekhawatiran), Non-Linear (tidak linier) dan Incomprehensible (sulit dipahami).
Selanjutnya Dede juga mengatakan bahwa VUCA ataupun BANI pada dasarnya menggambarkan sebuah kondisi pasca memasuki suatu era yang disebut era Post Truth. Istilah ini mulai dikenalkan tahun 1992 oleh Steve Tesich dalam tulisan berjudul The Government of Lies. Tulisannya dalam majalah The Nation tersebut merupakan bentuk ungkapan kegelisahan atas propaganda negara-negara yang terlibat dalam Perang Teluk yang dinilai membingungkan publik global, dimana kebenaran dan kepalsuan menjadi hal yang sulit untuk dibedakan. Terkadang masyarakat mersa bingung dengan berita-berita maupun opini-opini yang beredar, bahkan cenderung terpolarisasi menjadi kutub – kutub yang saling berhadapan. Dalam kondisi seperti ini, seringkali fakta tidak terlalu berpengaruh terhadap pembentukan opini masyarakat dibandingkan emosi dan keyakinan personal.
Apalagi di era medsos saat ini, setiap orang yang memiliki handphone seolah – olah ‘otomatis’ menjadi jurnalis, bahkan sering kebablasan karena menyiarkan (nge-share) berita tanpa disaring terlebih dahulu melalui apa yang disebut konfirmasi atau validasi berita. Tidak mengherankan jika setiap saat, handphone kita dibanjiri berbagai informasi, berita, foto atau video yang sangat beragam. Baik yang sifatnya dinas terkait pekerjaan, berita biasa ataupun hanya sekedar lelucon atau bahkan berita, gambar dan video hoaks yang bisa berimplikasi pada masalah hukum. Disnilah platform dan mindset fikiran akan ‘bermain’, sehingga tidak sedikit yang terseret menjadi sebuah keyakinan dan kebenaran. Bahkan Joseph Goebbels manyatakan bahwa “ kebohongan yang diceritakan satu kali adalah kebohongan, tapi kebohongan yang diceritakan ribuan kali akan menjadi kebenaran “.
Kemudian Dede juga menambahkan bahwa fenomena post truth pada awalnya dimanfaatkan untuk kepentingan politik, tetapi kemudian berkembang ke segala lini isu dan agenda. Baik post truth maupun hoax, biasanya akan dibungkus dengan tajuk berita yang bombastis, abai terhadap data dan fakta, bahkan mungkin memakai data palsu yang tidak jelas kebenarannya. Belum lagi jika ada akun-akun bayaran para buzzer, yang memang sengaja mengangkat topik itu terus menerus atau berkomentar tentang berita itu yang mengakibatkan pengguna medsos menjadi bingung bahkan percaya akan “kebenaran” berita hoax tersebut. Kondisi ini diperparah dengan kondisi sebagian publik yang ‘belum bijak’ dan ikut terpengaruh untuk tidak sekadar mempercayai berita bohong itu, namun juga dengan secara sukarela mendistribusikannya melalui akun-akun mereka. Dengan kekuatan pengguna medsos, maka tidak mustahil jika berita-berita bohong tersebut akan massif beredar di dunia maya.
Lebih lanjut Dede juga menguraikan beberapa permasalahan sosial ekonomi yang bermuara pada hukum dalam kondisi seperti itu, seperti post-truth, flexing (pamer kemewahan), dan digital marketing yang tidak bertanggung jawab. Tujuannya target konsumen yang kurang teliti dan mudah tergelincir. Hal ini bisa tampak dari kasus – kasus yang pernah mencuat, seperti Binomo, DNA Pro, Robot Trading, pinjol (pinjaman sistem online yang tidak terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan), serta masih banyak lagi kasus lainnya. Bahkan pelakunya terkadang memanfaatkan para pesohor sebagai inluencer dan atau endorser.
Oleh karena itu, dalam konteks marketingpun telah terjadi pergeseran model, dari model AIDA ke model AISAS. Pola pemasaran konvensional model AIDA (attention, interest, desire, and action) tealh bertransformasi menjadi AISAS (attention, interest, search, action, and share). Elemen ”search and share” merupakan pembeda yang rawan dan bisa direkayasa ke arah pengelabuan dengan imbuhan tampilan kemewahan yang berlebihan dan pembingungan ke arah post-truth. Dengan demikian maka pilar-pilar kelembagaan pun perlu diperkokoh untuk memperkuat fungsi penyebaran informasi, pemantauan, verifikasi, validasi, dan pengawasan agar terhindar dari praktik berita dan informasi dengan klasifikasi Non Verified Information (NVI).
Memang platform dan ekosistem digital ini memiliki fungsi yang sangat ampuh dan menarik jika dimanfaatkan ke arah yang positif. Karena kegiatan manusia kini dapat terbantu dengan platform digital yang mutakhir dengan karakter 10 V (volume, velocity, variety, veracity, value, validity, variability, venue, vocabulary, vagueness). Komponen 10 V yang terintegrasi dalam big data dapat dimanfaatkan untuk kehidupan dan peradaban baru.
Pembenahan yang holistik pada tingkatan makro, meso, dan mikro sangat mendesak untuk dilakukan. Kejadian Binomo, DNA Pro, Robot Trading, dan lain sebagainya merupakan indikator masih rapuhnya masyarakat Indonesia yang belum memahami bahaya post-truth, flexing, serta trik lainnya dalam pemasaran digital. Pengelabuan dengan suguhan flexing dalam proses endorsing, influencing, hingga decision-making sedang marak di Indonesia. Mulai dari pancingan iklan berita di media sosial hingga tontonan film pendek di platform digital dan aplikasi lainnya.
Dede juga menekankan bahwa tidak mudah untuk berselancar di atas gelombang informasi yang semakin membesar dan nyaris tidak terkendali ini. Dimana kebohongan mudah disamarkan menjadi kebenaran. Sebaliknya, yang benar dinarasikan bohong oleh pihak-pihak tertentu sehingga rasionalitas dikalahkan oleh rekayasa konten dan teknologi yang canggih. Hal ini diperparah oleh kebiasaan masyarakat yang pada umumnya enggan melakukan verifikasi, validasi, ataupun tracking/tracing uji kebenaran suatu berita. Rasionalitas manusia menjadi terganggu dalam proses berpikir normal yang seharusnya menjadi basis dalam setiap perilaku.
“ Saat ini sangat dibutuhkan kolaborasi dan elaborasi antar pihak yang terkait agar mau untuk bahu membahu bekerjasama dalam ritme yang sama untuk Indonesia tercinta. Setiap elemen masyarakat seperti berbagai komunitas dan media perlu dilibatkan dalam orkestrasi proses edukasi, sosialisasi, dan verifikasi. Hanya dengan orkestrasi penta helix seperti ini dapat terjadi validasi yang komprehensif. Kolaborasi peran penta helix untuk proses menuju orkestrasi yang baik harus paham dan memiliki itikad yang baik guna menghasilkan tontonan orkestra yang indah. Setiap pemimpin harus bersedia mempersiapkan partitur yang baik agar bisa dan taat membaca not balok dalam setiap konteks irama pilihan “, pungkas Dede mengakhiri percakapan yang menarik.
ZonaExpose
0 Komentar